Rabu, 29 Juni 2011

ISLAM RELEVAN DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN

oleh : Hasan Luthfy Attamimy

Pertanyaan ini muncul dari jamaah Masjid al-Qolam, SMK Negeri 56 Jakarta Utara, pada tanggan 10 Juni 2011. Isi pertanyaan tersebut, menyangkut persoalan yang berkaitan dengan kondisi hukum dalam Islam, dan masalah yang berkaitan dengan hukum seni gambar.

 a)     Islam relevan dengan zaman dan tempat  

       1.      Agama Islam mengikuti perkembangan zaman.

        Penjelasan ;

          Perlu saya ralat sedikit atas redaksi di atas, bahwa  yang disampaikan oleh saya bukan kata “mengikuti”, tapi “selaras atau  sesuai” dengan perkembangan zaman. Kata tersebut adalah terjemahan dari kata “  يصلح“ yang artinya relevan (sesuai ; selaras; cocok).  Pernyataan ini merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh Pusat Fatwa di bawah pimpinan Dr. Abdullah al-Faqih, sebagai berikut;

  لأن كل شيء في الإسلام يصلح في كل زمان وكل مكان فهو منـزل من الله رب العالمين  

“ … bahwa sesungguhnya setiap persoalan (yang terkandung) dalam ajaran Islam itu selaras dengan setiap zaman dan setiap waktu, karena (ajarannya) diturunkan dari Allah penguasa alam[1]



Pernyataan Dr. Abdullah al-Faqih, seorang mufti Timur Tengah ini, merupakan jawaban atas pertanyaan masyarakat Arab tentang hukum khitan wanita yang ada kaintannya dengan penggunaan teknologi versus tradisi khitan dan sunnah Rasul. Sebab khitan dalam pandangan Barat merupakan kebodohan umat Islam, dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Khitan menurut mereka adalah bagian penyiksaan terhadap anggota badan. Oleh karenanya, tradisi dalam Islam dianggap oleh mereka tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman, dan harus ditinggalkan. (lihat; lampiran pertanyaan dalam redaksi bahasa Arab)

Pernyataan ini kemudian di jawab oleh mufti sebagaimana tersebut di atas. Bahkan dalam fatwanya, ia menyatakan, “Jika ada orang yang  menyakini,  “Islam tidak relevan (sesuai, selaras) dengan perkembangan zaman” , maka ia telah kufur”[2]

Menurut saya, pernyataan ini didasarkan pada bahwa Islam adalah agama rahmah lil alamin (QS. Al-Anbiya [21]:107)  yang memiliki nilai kekhidupan sepanjang zaman dan berlaku untuk setiap generasi dan tempat. Inilah nilai rahmat Allah  kepada manusia sebagai makhluk dinamis dan selalu berhasrah mengembangkan daya intelektualitasnya. Ketika Islam dipahami sebagai ajaran yang tidak selaras dengan perkembangan zaman, maka berarti Islam menolak peradaban, yang berarti Islam ajaran yang statis dan bahkan akan melahirkan stagnasi pemikiran (jumud). Hal ini berdampak pada taklid buta (mengekor tanpa dasar).

Sejarah kehidupan para sahabat sampai generasi tabi’ tabi’in –hingga sekarang, pen-  yang menggali ajaran Islam menjadi suatu argumentasi dalam mengatasi probelamatika perkembangan zaman. Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah merupakan prasasti yang sangat bernilai sebagai bentuk implementasi pesan-pesan al-Qur’an. Berbagai disiplin ilmu lahir dari berbagai intelektual dan kaum cendekiawan muslim untuk menjawab persoalan umat yang sarat dengan multi tradisi, kultur, strata sosial dan sebagainya.   Salah satu contoh yang dikenal dalam dunia fuqoha adalah fatwa-fatwa Imam Syafi’I dengan istilah “qoul qodim” (pemikiran lama) dan “qoul jadid” (pemikiran baru).  Qoul qodim adalah fatwa-fatwa beliau ketika tinggal di Irak. Sedangkan ketika beliau hijrah ke Mesir, fawa-fatwa beliau disebut qoul jadid. Mengapa kedua istilah itu muncul?. Karena fatwa-fatwa tersebut disampaikan untuk menjawab perkembangan zaman yang dihadapinya dengan sosio-kultural yang berbeda  di kedua negara tersebut.[3]

Para ulama berpendapat bahwa hukum Islam atau nilai-nilai ajaran Islam itu memiliki karakter ; antara lain universal yang berlaku untuk seluruh umat manusia, dimana dan kapan saja[4]. Hal ini tertuang di dalam al-Qur’an Surat as-Saba [34]: 28.



!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (QS. as-Saba [34]: 28).

Dalam kaitannya dengan ayat di atas, Syekh Sayid Sabiq, dalam bukunya Fiqh al-Sunnah menjelaskan bahwa tujuan Syariat Islam itu dibangun untuk mengembangkan kemaslahatan manusia. Dalam Islam, menurutnya, terdapat dua ketentuan; 1) ketentuan khusus dan 2) ketentuan umum. Ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut persoalan akidah dan ibadah yang tidak berubah, dan tidak boleh dirubah serta diungkap dengan jelas dan terperinci. Sedangkan ketentuan umum yang berkaitan dengan duniawi, politik, perang dan sebagainya, diungkap secara mujmal (global) untuk menangkap persoalan yang berkembang guna kemaslahatan hidup manusia sepanjang masa, dan dari generasi ke generasi.  Agar hal ini dapat dijadikan sebagai burhan (petunjuk) para penguasa untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.[5] Dalam kontek mujmal (global) inilah  hukum dalam Islam sangat kondisional dan tidak harga mati[6].  

b).  Seni dalam Islam
 
2.     Syekh al-Albani mempertanyakan hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa

3.      Hadits pelarangan menggambar makhluk bernyawa tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini.

       Penjelasan
 
Untuk menjawab butir soal ke 2 dan 3, akan saya sampaikan sekaligus. Karena masih dalam kontek yang sama. Namun perlu saya ralat juga pertanyaan (poin-2) pelarangan syekh al-Albani tentang bunyi teks hadits. Al-Bani hanya menyatakan hadits tentang “Malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang terdapat di dalamnya anjing, gambar dan junub adalah dhaif. Itu yang saya sampaikan, sehingga dari kontek ini saya berpendapat hal itu membuka pintu kreasi seni yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai media untuk mencari nafkah.

Sebelum membahas persoalan tersebut,  perlu saya kutip beberapa teks hadits sebagai berikut;


1) - حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ . حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِى أَخِى عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى عَتِيقٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو طَلْحَةَ - رضى الله عنه - صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَكَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّهُ قَالَ « لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ » (رواه البخارى) . يُرِيدُ التَّمَاثِيلَ الَّتِى فِيهَا الأَرْوَاحُ . أطرافه 3225 ، 3226 ، 3322 ، 5949 ، 5958 - تحفة 3779

“…. Sesungguhnya Ibn Abbas ra., berkata, Aku diberitahukan oleh Abu Thalhah ra, sahabat Rasulullah SAW.,  dia mengikuti perang Badar bersama Rasulullah, beliau bersabda “Malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang terdapat di dalamnya anjing dan gambar” (HR. Buchari). Yang dimaksud adalah gambar-gambar bernyawa (tamatsil) yang sifatnya bergerak.[7]


2) - حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا طَلْحَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةُ تَمَاثِيلَ » . أطرافه 3226 ، 3322 ، 4002 ، 5949 ، 5958 تحفة 3779» (رواه البخارى)  

“…. Dari Ubaidillah ibn Abdullah bahwa ia mendengan ibnu Abbas ra., berkata, Aku mendengar Abi Thalhah ra., berkata;  Aku mendengar Rasulullah SAW., bersabda, “Malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang terdapat di dalamnya anjing dan gambar makhluk hidup” (HR. Buchari).[8]



3) - حَدَّثَنِى سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ وَاعَدَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فِى سَاعَةٍ يَأْتِيهِ فِيهَا فَجَاءَتْ تِلْكَ السَّاعَةُ وَلَمْ يَأْتِهِ وَفِى يَدِهِ عَصًا فَأَلْقَاهَا مِنْ يَدِهِ وَقَالَ « مَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلاَ رُسُلُهُ ».ثُمَّ الْتَفَتَ فَإِذَا جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ سَرِيرِهِ فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ مَتَى دَخَلَ هَذَا الْكَلْبُ هَا هُنَا ». فَقَالَتْ وَاللَّهِ مَا دَرَيْتُ. فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ فَجَاءَ جِبْرِيلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَاعَدْتَنِى فَجَلَسْتُ لَكَ فَلَمْ تَأْتِ ». فَقَالَ مَنَعَنِى الْكَلْبُ الَّذِى كَانَ فِى بَيْتِكَ إِنَّا لاَ نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ. (رواه مسلم)


Diceritakan kepadaku oleh Suwaid ibn Said, diceritakan (pula) kepada kami oleh Abdur Aziz ibn Abi Hazim dari Abi Salamah ibn Abdirrahman dari Aisyah bahwa ia berkata;  Jibril telah berjanji kepada Rasulullah bahwa suatu saat ia akan mendatanginya. Waktu yang ditentukan itu, kini datang. Namun Jibril justeru tidak  datang. (Saat itu) ditangannya (Nabi) sebuah tongkat, lalu dilemparkannya. Beliau berkata, “Allah dan para rasul-Nya tidak mengingkari janjinya”. Kemudian beliau menoleh, tiba-tiba muncul anak anjing di bawah tempat tidurnya, lalu beliau bertanya, “Hai Aisyah, kapan anjing ini masuk ke sini?”. Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu”. Kemudian beliau mengusir anjing itu, dan muncullah Jibril. Rasulullah bertanya, “Engkau telah berjanji (untuk datang), aku bisa duduk bersamamu, tapi engkau tidak datang (waktu yang telah ditentukan). Jibril menjawab, “Anjing yang ada di rumahmu itu telah menghalangiku. Kami (malaikat) tidak masuk suatu rumah yang terdapat di dalamnya anjing dan gambar”. HR. Muslim. [9]



4) - " أتاني جبريل عليه السلام فقال : إني كنت أتيتك الليلة فلم يمنعني أن أدخل عليك البيت الذي أنت فيه إلا أنه كان في البيت تمثال رجل و كان في البيت قرام ستر فيه تماثيل فمر برأس التمثال يقطع فيصير كهيئة الشجرة و مر بالستر يقطع و في رواية : إن في البيت سترا في الحائط فيه تماثيل ، فاقطعوا رءوسها فاجعلوها بساطا أو وسائد فأوطئوه ، فإنا لا ندخل بيتا فيه تماثيل . فيجعل منه وسادتان توطآن و مر بالكلب فيخرج . ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم و إذا الكلب جرو كان للحسن و الحسين عليهما السلام تحت نضد لهما . قال : و مازال يوصيني بالجار حتى ظننت أو رأيت أنه سيورثه " .

قال الألباني في "السلسلة الصحيحة" 1 / 624 :

“Jibril datang kepadaku, lalu berkata, “Suatu malam aku mendatangi (rumah) mu, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk ke rumahmu, kecuali di dalam rumah itu terdapat gambar laki-laki, di rumah itu juga terdapat (qiram)[10] yang dilukis dengan gambar. “Goreslah kepala gambar itu”, (Gambar itu lalu) terputus sehingga seakan berbentuk sebuah pohon.  “Gores (juga) dengan tirai’, (gambar pun) terpotong.  Dalam sebuah riwayat, “Di dalam rumah itu terdapat tirai dinding yang terdapat gambar (tamatsil), maka putuskanlah kepalanya, jadikan dia tikar (permadani) atau bantal”. Lalu mereka menghamparkannya. “Sebab kami tak akan masuk ke suatu rumah yang terdapat di dalamnya gambar bernyawa”. Kemudian keduanya dijadikan bantal untuk bersandar. “Usirlah anjing itu”. Lalu anjing itu dikeluarkan. Rasulullah mengusir anak anjing milik Hasan dan Husain (yang muncul) dari bawah nadh[11]  (tumpukan perkakas) milik mereka. Rasul bersabda, “Ia (Jibril) berpesan kepadaku untuk menyampaikannya kepada tetangga, sampai aku mengira atau aku berfikir bahwa itu  suatu wasiat yang diwariskan”  [12] (al-Albani, dalam Silsilah al-Ahaditsah, 1/624)

Hadits 1, 2, dan 3 adalah hadtis-hadits Shahih. Hadits yang senada dengan hadits tersebut cukup banyak diriwayatkan oleh para ahli hadits. Tetapi hadits itu statusnya tidak mutawatir. Semua hadits yang berbicara tentang gambar tersebut adalah hadits Ahad dengan kualitas shahih. Kecuali hanya satu yang penulis ketahui kualitasnya dhaif, sebagaimana dikemukakan oleh Albani, dan telah disebutkan di atas. “…. dan junub” (lihat terjemahan hadits di atas).

Perlu penulis sampaikan bahwa asbab al-wurud hadtis-hadits di atas dan  yang senada,  pada prinsipnya dilatar belakangi oleh perjanjian Jibril dengan Nabi yang akan berkunjung ke rumahnya. Namun Jibril mendapat kendala untuk menepati janjinya. Sebab ketika ia akan masuk rumah Nabi, ia mendapatkan gambar dan anak anjing milik Hasan dan Husain. “Kami tidak bisa memasuki rumahmu, karena di rumahmu itu ada gambar dan anak anjing”. (Lihat hadits di atas dan Albani dalam Silsilah al-Shahihah di atas)

Pada teks hadits ke 4, Albani menuturkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh  Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Hibban dalam Shahihnya dari jarur Yunus ibn Abi Ishaq dari Mujahid dari Abi Hurairah. Dan ini hadits shahih sesuai syarat hadits Muslim dan dishahihkan oleh Turmudzi dan lain-lain. Yunus juga menjelaskan peng-hadits-an ini dalam riwayat Ibn Hibban. Namun dalam penghapalannya (Ibn Hibban) memiliki kelemahan yang relative ringan dan tidak berdampak negative terdahap status haditsnya. Menurut Imam Hafidz dalam “al-Taqrib” kebenaran mereka relative ringan.

Menurut Albani hadits itu diikuti oleh Abu Ishak. Imam Ahmad berkata, “Abdul al-Razzaq menceritakan kepada kami, Ma’mar juga memberitahukan kepada kami dari Abi Ishaq dari Muhadits tentang hadits itu secara ringkas dalam riwayat kedua. Hadits ini, menurut Albani memiliki sanad sahih sesuai syarat Buchori-Muslim (syaikhain). Seandainya tanpa Abu Ishak (orang Sabi’i) ayah dari Yunus, niscaya hadits itu berubah di akhirnya.  Sebab terjadi perbedaan  teks (matan). Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Ma’mar seperti itu. Abu Bakar  juga meriwayatkan dari Ma’mar seperti itu, dengan teks;  " فإما أن تقطع رؤوسها ، أو تجعل بساطا يوطأ " (atau engkau memutuskan kepalanya, dan engkau jadikan tikar untuk duduk) yang dikeluarkan oleh Nasai.  Hadits pertama, menurut Albani lebih shahih. Karena Ma’mar menghafalnya dari Abi Bakar anak Ibi ‘Iyasy al-Kufi. Menurut Imam Hafidz, “Dia kuat hafalannya, dan ahli ibadah. Namun setelah ia dewasa,  hafalannya tidak cukup baik, dan kitabnya shahih”[13]

Selanjutnya, menurut Albani,  para ulama berbeda pendapat  dalam menetapkan hukum  gambar atau lukisan, baik yang bernyawa maupun yang tak bernyawa.

Pendapat pertama; pengharaman gambar yang menyebabkan terhalangnya Malaikat masuk rumah, lebih popular. Namun pengharaman tersebut tidak diungkap secara spesifik, apakah gambar yang berjisim (bernyawa) ataukah bukan. Kelompok ini tidak merinci secara jelas.

Pendapat kedua; pengharaman hanya menyentuh yang bernyawa saja, seperti manusia dan hewan. Pendapat ini  lebih menekankan pada bentuk gambar tertentu. Meskipun Jibril mengatakan, “Kami tidak akan masuk rumah yang terdapat di dalamnya gambar (Tamatsil)”[14], tapi yang terlihat oleh Jibril adalah gambar manusia. Penekan pengharamannya pada gambar yang dilukis di atas qiram (kulit atau kain) tanpa banyangan. Tidak ada bedanya, apakah lukisan itu di-bordir  (disulam) di atas baju maupun  dilukis di atas kertas, atau lukisan fotographi (foto). Semua itu adalah bentuk gambar. Hanya saja hukum menjadi berbeda antara gambar hasil kreasi tangan (lukisan) dengan alat fotographi. Hasil kreasi tangan (lukisan) haram hukumnya, dan fotographi tidak haram. Gambar hasil fotographi merupakan fenomena abad modern (ظاهرية عصرية ). Ini untuk menangkal kejumudan (statis) seni sebagai sesuatu yang tidak baik. Sebagaimana dikemukakan dalam “Adab al-Zifaf fi al-Sunnah al-Muthahharah, hal 112-114)

Pendapat ketiga, pengharaman atas gambar-gambar yang dihamparkan (permadani, pen.), apabila gambar tersebut dibiarkan dalam kondisi apa adanya, sehingga  gambar manusia atau binatang tidak berubah.  Pendapat ini di-amini oleh Imam Hafidz dalam kitab “al-Fath”

Pendapat keempat, kata “  حتى تصير كهيئة الشجرة  “ (sehingga berbentuk pohon) adalah dalil (bukti) bahwa perubahan gambar menjadi halal atau mubah untuk digunakan. Namun sebagian fuqoha mengatakan “Tidak boleh menggunakan sebuah gambar makhluk hidup, walaupun gambar dalam bentuk separuh badan, meskipun hanya seekor ular”. Sebab kondisi tersebut masih tetap disebut gambar, dan nyata.

Pendapat kelima, berdasarkan hadits di atas bahwa gambar-gambar benda (bukan makhluk hidup) adalah boleh. Dan hal itu tidak  mencegah malaikat masuk ke dalam rumah. Jika gambar benda-benda itu haram seperti gambar makhluk hidup, maka malaikat tidak akan memerintahkan Nabi untuk merubahnya. Hal ini dikuatkan oleh Hadits Ibn Abbas, (  " و إن كنت لابد فاعلا ، فاصنع الشجرة ، و ما لا نفس له " . رواه مسلم و أحمد  ) (jika engkau mau mengerjakannya, maka buatlah gambar pohon, benda yang tidak bernafas), HR. Muslim dan Ahmad. [15]

Pendapat  keenam, menurut Imam Nawani, dalam Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, bahwa kata “  لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولاصورة  “ (Malakiat tidak akan masuk suatu rumah yang terdapat anjing dan gambar di dalamnya), penyebab keharamannya bukan pada substansinya. Tetapi pada aspek nilai dan akibat. Gambar berdampak pada pemujaan yang melahirkan syirik kepada Allah, dan anjing karena najisnya.  Sedangkan malaikat tidak suka kepada hal-hal yang kotor dan aroma anjing yang bau. Anjing juga sering mengkonsumsi makanan yang jorok dan bernajis. Disamping itu pula, bahwa anjing perlambang syaitan, sedangkan malaikat bermusuhan dengan syaitan. Nawawi juga menambahkan bahwa yang dimaksud “malaikat” dalam hadits tersebut adalah malaikat pembawa rahmat, keberkahan dan pembawa istigfar (memintakan ampunan orang yang beristigfar kepada Allah).  Tidak termasuk malaikat yang lain, seperti malaikat Mika’il, Israfil,  Izrail, dan lain-lain. Menurut al-Qodhi, seperti diungkapkan oleh Nawawi, apa yang dikemukakan oleh al-Khattabi bahwa lahiriyah hadits tersebut adalah hadits umum[16]. Hal ini bisa dilihat dari teks, bahwa “nabi membunuh anjing” sudah di mansukh (dibatalkan). Artinya perintah membunuh anjing sudah dihapus oleh hadits lain.[17]

Pendapat ketujuh; melihat pendapat Imam Nawawi bahwa  keharaman gambar dan keharaman anjing yang menyebabkan malaikat itu menolak masuk rumah, bukan pada substansi gambar dan anjing tersebut. Tetapi pada aspek  nilai dan dampak. Anjing membawa najis dan sering mengkonsumsi makanan yang kotor dan jorok, sedangkan gambar berdampak pada pemujaan atau sesembahan.  Hal inilah kemudian memunculkan transformasi baru bagi intelektual muslim di  abad modern, baik dilihat dari aspek teks hadits (hermeneutik) maupun dari aspek sosial.

1.    Teks hadits tidak menunjuk kata larangan. Kata “ لا  “ yang berhubungan dengan kata kerja Fiil Mudhari (    فعل مضارع) dalam teks “  لاتدخل    (tidak akan masuk) bukanlah kata Nahyi (larangan), tetapi kata “La” nafiyah. Kata Nahyi “La” artinya “jangan”, sedang kata “La” Nafi artinya “tidak”. Teks hadits tersebut sifatnya informasi, bukan sebuah larangan mutlak, yang kemudian berlaku hukum haram, disebabkan ada kata “mur” (مر). Dalam Ushul Fiqh, haram terbagi dua; 1) Haram karena zatnya, dan 2) haram karena sebab lain. Misalnya, haram melihat wanita karena auratnya. Dalam kasus kedua ini, hukum membolehkan untuk melihat aurat wanita, ketika wanita akan dioperasi. Operasi tidak dapat dilakukan jika tubuh wanita itu tertutup busana. Ini untuk kemaslahatan pribadi dan keluarga.[18] Sama halnya dengan kasus gambar dan para pelukis yang jika diharamkan, karena kekhatiran kemusyrikan baru di rumah itu. Dalam Ushul Fiqh, hukum haram ligairihi (karena sebab lain) dapat berubah menjadi boleh, apabila ada dalil yang lebih kuat. Dalil yang lebih kuat adalah kewajiban bekerja[19]. Karena bekerja mencari nafkah adalah wajib hukumnya. Jika hal ini tetap belaku haram, maka akan menutup pintu usaha mereka untuk mencari nafkah bagi keluarganya.  Sehingga mereka tidak menjadi miskin. Sebab kemiskinan salah satu bencana yang ditakutkan oleh Rasulullah. Bukan hanya keimanan yang hilang (menjadi kafir), tapi juga kejahatan akan merajalela karena kemiskinan. Perubahan hukum ini dalam bahasa usul fiqh, disebut “al-istihsan[20]

2.    Para ahli balaghah (sastrawan Arab) sering kali menerjemahkan kata “Bait” (  بيت )  yang artinya rumah, dijadikan sebagai kata kiasan, yaitu hati. Hati, bagi orang tasawuf adalah rumah[21]. Ketika rumah (hati) –menurut ahli tasawuf- kotor dengan gambar-gambar sebagai bayangan duniawi, dan anjing sebagai bayangan hati yang najis, busuk dan jorok, maka malaikat akan menghindari mereka. Hal ini yang menjadi ketakutan rusaknya amal soleh dan ketakwaan mereka yang penuh roja’ ( رجاء ), mahabbah (محبة)  dan ma’rifah ( معرفة )  yang dapat menjauhkan dirinya dari cinta Allah.[22]Mereka sangat takut, jika Allah menjauh dari mereka. Untuk itulah mereka berupaya membersihkan rumah (hati) mereka dari segala keburukan dan kemaksiatan.

Penggunaan kata “Bait” (بيت ) yang dimaksudkan “hati” ( قلب) dalam ilmu balaghah disebut “al-Isti’arah al-Tamtsiliyah” (الاستعارة التمثيلية).[23] Istilah ini banyak diungkap di dalam al-Qur’an. Salah satu contoh ; kata “Ihdina al-Shirath al-Mustaqim” ( اهدنا الصراط المستقيم ) artinya, “Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus”. Kata “al-Shirath al-Mustaqim” dimaknai sebagai agama. Bukan jalan sebenarnya.[24]

3.    Dilihat dari aspek sosial yang berkaitan dengan karunia Tuhan kepada hambanya, manusia diberikan maziyah (keistimewaan) masing-masing. Al-Qur’an menyebutnya “ala syakitalihقُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ (QS. Al-Isra [17]: 84), bahwa setiap orang bekerja sesuai dengan kondisinya (kemampuan masing). Nash ini menjelaskan keistimewaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Dengan keistimewaan itulah, manusia mencari rizki di atas bumi ini. Sehingga ia bisa menghidupi kebutuhan hidupnya dari karya-karyanya itu.  Usaha atau bekerja sebagai penggambar  maupun pelukis merupakan kreatifitas manusia yang dianugerahkan Tuhan yang harus dimanfaatkan. Sebab pelarangan itu, - melihat kontek sinyal Imam Nawawi – bukan pada esensi, tapi pada dampak. Artinya jika gambar itu menjadi media kemusyrikan, maka haram.  Inilah yang dilarang. Hal ini bisa dipahami, karena pernyataan Nabi tersebut, merupakan kekhawatiran terulangnya kemusyrikan baru seperti yang terjadi pada masyarakat Arab pra Islam.

4.    Kita juga banyak mendapatkan rumah-rumah para ulama yang dihiasi gambar-gambar, foto-foto dan lukisan utuh, seperti gambar syaikh-syaikh, lukisan para wali, bahkan foto atau lukisan satu keluarga. Ini menjadi bukti bahwa kreasi seni mendapat penghargaan dari mereka. Bukankah dirumah kita ada foto keluarga, foto wisuda dan sebagainya? Bagaimana?. Oleh karenanya, pemahaman terhadap nash-nash al-Qur’an dan Hadits tidak dibahasakan secara tekstual, tapi harus diformulasikan dengan kondisi sosial, budaya dan sebagainya dengan mempertimbangan berbagai aspek kemaslahatan dan kemadharatannya. Sehingga Islam tidak menjadi sempit, dan harga mati. Inilah sifat ke-universal-an ajaran Islam. Fiqh, usul fiqh, hadits dan Ulum al-Hadits, al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an merupakan suatu disiplin ilmu yang harus digali, sehingga ajaran Islam bisa menjawab berbagai aspek kehidupan. Dan masih banyak disiplin ilmu lain sebagai instrumen  untuk memahami kandungan ajaran Islam dari sumbernya. Wallahu ‘alam.



Penutup.



Islam adalah agama rahmah lil ‘alamin. Ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama universal yang berlaku sepanjang zaman, dan di semua tempat. Memiliki karakter yang jelas, tetapi fleksibel. Ini dilihat dari tawaran al-Qur’an tentang ayat-ayat mutasyabihat. Al-Hadits yang merupakan tafsir terhadap al-Qur’an lebih memberi peluang yang  lebih lebar, karena Hadits sebagai sumber hukum sangat berlapis. Hal ini pun dilihat dari asbab al-wurudnya. Terlebih lagi,  ketika kedua hukum ini memasuki ranah fiqh. Dari sinilah, kemudian para ahli hukum Islam, mengatakan “Islam selaras dengan perkembangan zaman dan tempat, berlaku untuk semua generasi, dan selalu actual untuk di bahas”.

Penulis hanya berharap, para jamaah bisa mengambil kesimpulan materi ini,  dan penulis serahkan kepada jamaah.  Dan ucapan terima kasih atas segala perhatian seluruh jamaah yang responsive terhadap materi khutbah penulis. Karena tidak mungkin materi disajikan secara utuh dalam khutbah yang sangat minim waktu. Semoga Allah  memberi hadayah dan ilmu pengetahuan kepada kita. Amin.




DAFTAR PUSTAKA


al-Albani, Muhammad Nasiruddin , al-Silsilah al-Shahihah, Iskandariyah; Min intaj markaz nur al-islam li ‘abhats al-Qur’an al-Sunnah, tpn., Jil. 1

al-Buchari,  Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mugirah,  Shahih al-Buchari, Muwqi  al-Wizarah al-Auqaf al-Misriyah, tpn. Jil. 13

al-Faqih,  Abdullah,  al- Fatawa al-Islamiyah, Maktabah Syamilah,  tth., jil. 27

Ali al-Jazim wa Musthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah al-Bayan, wa al-Ma’ani wa al-Badi’,  Mesir;  Wizarah al-Ta’lim, Tpn

Al-Jawi, Muhammad Umar, Nasha’ih al-Ibad, Maktabah Muhammad Dahlan al-Nabhan.

al-Mawardi, Nihayat al-Minhaj ila Syarh al-Minhaj, Mauqi al-Islam, Maktabah Syamilah, Jil. 1

al-Naisaburi,  Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi,  Muwqi  al-Wizarah al-Auqaf al-Misriyah, tpn. Jil. 14

al-Nawai, Abu Zakariya ibn Syaraf ibn Mary al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Bairut; Dar Ihya al-Turasy al-‘Arabi, 1392H,  Cet. Ke-8, jil. 14

al-Thabari,  Abu Ja’far (Tafsir al-Thabari), Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an,  Mu’assasah al-Risalah, 2000., Jil. 1

Asmuni, Yusan,  Dirasah Islamiyah, Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta; Grafindo Persada, 1996.

Departemen Pendidikan Nasional, Esniklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve; Jakarta, 2001

Ibn Duraid, Jumhar al-Lughat, Mawqi’ al-Waraq-Maktabah Syamilah, Jil. 1

Munawir,  Ahmad Warson, Kamus al-Munawir, Surabaya; Pustaka Progressifhal, 1997

Sabiq,  Sayid,  Fiqh al-Sunnah, Bairut ; Dar Fikri, 1996, Jil. 1

Zahrah, Abu, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, tpn.

Zamahsyari, al-Fa’iq fi Garib al-Hadits wa al-Atsar, Mauqi al-Waraq-Maktabah Syamilah, Jil. 1

 


[1] Lihat, Abdullah al-Faqih, al- Fatawa al-Islamiyah, Maktabah Syamilah,  tth., jil. Ke-27, hal. 34
[2] Ibid. (lihat teks fawanya pada lampiran tulisan ini)
[3]Lihat, pandangan Imam al-Mawardi tentang fatwa Imam Syafi’I yang dikemukakan dalam kitab “Nihayat al-Minhaj ila Syarh al-Minhaj, Mauqi al-Islam, Maktabah Syamilah, Jil. 1, hal, 127”
[4]Yusan Asmuni, Dirasah Islamiyah, Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta; Grafindo Persada, 1996., hal. 43
[5] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Bairut ; Dar Fikri, 1996, Jil. 1, hal 9.
[6] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Tpn. Hal. 364- 367
[7] Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mugirah al-Buchari, Shahih al-Buchari, Muwqi  al-Wizarah al-Auqaf al-Misriyah, tpn. Jil. 13, hal 364
[8] Ibid, jil. 11, hal. 370
[9]Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Muwqi  al-Wizarah al-Auqaf al-Misriyah, tpn. Jil. 14, hal 150
[10]Qiram adalah kain tipis yang terbuat dari kulit yang dijadikan gordeng dengan aneka warna gambar, (lihat, Zamahsyari, al-Fa’iq fi Garib al-Hadits wa al-Atsar, Mauqi al-Waraq-Maktabah Syamilah, Jil. 1, hal. 362)
[11]Al-Nadh ( نضد  ) adalah benda-benda mainan yang berharga. (lihat; Ibn Duraid, Jumhar al-Lughat, Mawqi’ al-Waraq-Maktabah Syamilah, Jil. 1, hal. 351
[12]Muhammad Nasiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, Iskandariyah; Min intaj markaz nur al-islam li ‘abhats al-Qur’an al-Sunnah, tpn., Jil. 1, hal 355.
[13] Ibid.
[14]Tamatisl adalah gambar atau lukisan yang berbentuk manusia. Sehingga mirip dengan manusia. Tamatsil  juga bisa diartikan patung. Walau kata “patung” dalam al-Qur’an disebut “Autsan”. Tetapi kedua kata tersebut  berbeda, “Timstal yang jamaknya Tamastil” diartikan gambar mirip makhluk hidup. Sedangkan “ Watsan yang jamaknya Ausyan” adalah bentuk rupa sebuah lukisan pahat yang dijadikan sesembahan. (Lihat, A.W. Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya; Pustaka Progressifhal, 1997, hal. 1310.
[15] Muhammad Nasiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, Iskandariyah; Min intaj markaz nur al-islam li ‘abhats al-Qur’an al-Sunnah, tpn., Jil. 1, hal 355.
[16] Maksud hadits umum adalah hadits yang tidak menyebutkan secara spesifik tentang objeknya. Misalnya, gambar apa?, dan anjing apa?. Anak anjing ataukan anjing besar yang sering digunakan oleh orang Arab untuk membantu menjaga binatang ternak, menjaga rumah, menjadi teman dalam perjalanan dan sebagainya. Karena dalam teks tersebut diungkap dalam bentuk  kata “Nakirah” bukan “Ma’rifat”.
[17] Abu Zakariya ibn Syaraf ibn Mary al-Nawai, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Bairut; Dar Ihya al-Turasy al-‘Arabi, 1392H,  Cet. Ke-8, jil. 14, hal 84
[18] Abu Zahrah, Op.cit., hal. 33-34
[19] QS. Al-Mu’minun [23] ; 51
[20] Ibid,  hal. 364- 367, (Lihat Abu Zahrah dalam keterangan berikut,; “Istihsan secara bahasa berarti menganggap atau meyakini bahwa sesuatu itu baik. Menurut ilmu ushul fiqh adalah berpaling dari hukum yang mempunyai dalil kepada adat (kebiasaan) untuk kemaslahatan umum. Seperti orang Islam yang ditawan oleh orang kafir dalam peperangan yang diintograsi untuk membuka  rahasia kekuatan tentara muslim, maka ia halal dibunuh oleh orang islam. Kalau tidak dibunuh, rahasia kekuatan pasukan islam akan musnah.
Menurut Ibnu Arabi bahwa istihsan mengamalkan dalil yang terkuat dari dua dalil, yaitu suatu pengecualian atau dispensasi (ruchshah) hukum karena ada alasan sebagai berikut ; 1) kebiasaan (urf); 2) kesepakatan ulama (ijma); 3) menghindarkan hukum yang memberatkan dan mengambil yang memberi kelapangan; dan 4) ada maslahat yang tidak ada ketentuannya dalam syara’ tetapi sejalan dengan tindakan syara’. (maslahat murasalah)
Menurut Ibnu Rusyd ; apabila mengamalkan qias akan mendatangkan kesempitan (kesulitan), maka perlu dilakukan istihsan.
Menurut Imam Syatibi (ahli ushul fiqh), istihsan adalah mengamalkan maslahat juz’I, (khusus) ketika berhadapan dengan qiyas kulli (umum), karena ada pengaruh yang lebih besar dalam mewujudkan tujuan hukum.
Menurut Mazhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode penyimpulan hukum (istinbath) yang diakui, diambil secara induktif (istiqra’) dari sejumlah dalil secara keseluruhan). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata menggunakan perasaan dan keinginan yang subjektif, tetapi berdasarkan pada tujuan (maqasid) syara’. Karena apabila qiyas yang diamalkan maka tujuan syara dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai. Misalnya, seorang yang tidak  membuka auratnya untuk keperluan pengobatan dalam upaya penyembuhan, akan terjadi kesulitan bagi dokter yang menanganinya.) Lihat pula, Departeman Pendidikan Nasional,  Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 2001.
[21] Lihat,  Muhammad ibn Umar al-Jawi, Nasha’ih al-Ibad, Maktabah Muhammad Dahlan al-Nabhan, hal. 5. Menjelaskan tentang pernyataan Abu Bakar al-Shiddik bahwa hati itu ibarat lautan. Dan hati juga sering dilukiskan sebagai rumah (bait) yang menjadi hiasan hidup. Jika rumah itu indah,  bersih maka banyak orang yang berkeinginan untuk singgah. Tetapi jika rumah itu kotor, tak satupun orang yang akan meliriknya, bahkan ketika orang yang akan mengunjungi menghampiri rumah dalam kondisi kotor, tidak nyaman dan kumuh, ia akan kembali pulang.
[22] Ibid, hal- 3-8
[23] Ali al-Jazim wa Musthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah al-Bayan, wa al-Ma’ani wa al-Badi’,  Mesir;  Wizarah al-Ta’lim, Tpn.,  hal. 97.
[24] Lihat, Abu Ja’far al-Thabari (Tafsir al-Thabari), Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an,  Mu’assasah al-Risalah, 2000., Jil. 1, hal. 166. 

Tidak ada komentar: